Kementerian Keuangan Republik Indonesia (Kemenkeu), berkolaborasi dengan Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI), kembali menggelar 8th Annual Islamic Finance Conference (AIFC) pada 3-4 Oktober 2024 di Jakarta. Acara yang diselenggarakan secara hybrid ini menyoroti pembahasan tentang integrasi Maqasid Syariah, yakni perlindungan atas kehidupan manusia, intelektual, kekayaan, keluarga, dan agama, dalam keuangan publik. Maqasid Syariah juga selaras dengan tiga fungsi utama keuangan publik dalam perspektif ekonomi umum, yakni alokasi, distribusi, dan stabilitas.
Dalam AIFC, pembuat kebijakan, ekonom, akademisi, dan sektor swasta turut berpartisipasi membahas ekonomi dan keuangan Islam. Bagaimana menggali dan mengembangkan potensi pengelolaan keuangan publik untuk pembangunan ekonomi sesuai nilai-nilai ajaran Islam yang bersifat universal dan berkeadilan sehingga tercipta ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan di masa depan.
AIFC ke-8 ini mengusung tema "Peran dan Optimalisasi Keuangan Publik Syariah: Menggali dan Memanfaatkan Potensi dan Inovasi dalam Pengelolaan Keuangan Publik Syariah untuk Pembangunan Ekonomi". Program Call for Papers yang diadakan dalam rangkaian acara ini berhasil menarik lebih dari 337 makalah dari peserta nasional dan internasional. Dari jumlah tersebut, 20 makalah terbaik dipresentasikan dalam sesi paralel dan 10 makalah terpilih akan diterbitkan di jurnal ilmiah terkemuka.
Acara pembukaan pada 3 Oktober 2024 dimulai dengan sambutan dari Wakil Menteri Keuangan Indonesia Thomas A. M. Djiwandono dan diikuti kuliah tamu dari Menteri Keuangan II Malaysia Amir Hamzah Azizan. Diikuti dua sesi panel yang membahas topik "Islamic Public Finance and Fiscal Policy" dan "Showcase of Islamic Social Fund Development in Indonesia".
Dalam pidatonya, Wamenkeu Thomas Djiwandono menekankan pentingnya pendekatan baru dan inovatif dalam mengelola perekonomian, khususnya terkait keuangan publik dan kebijakan fiskal. Menurutnya, paradigma ekonomi Islam menawarkan wawasan dan solusi yang berharga dalam menghadapi tantangan ekonomi global.
"Saya sangat yakin kita bisa belajar banyak dari keuangan publik Islam yang mengutamakan prinsip keadilan, kesetaraan, kesejahteraan sosial, serta tata kelola yang etis. Prinsip-prinsip ini harus menjadi landasan bagaimana kita memobilisasi, mengalokasikan, dan menggunakan sumber daya untuk mencapai tujuan pembangunan sosial ekonomi," ujar Thomas.
Menteri Keuangan II Malaysia Amir Hamzah Azizan menyampaikan bahwa kerangka Ekonomi MADANI, yaitu Sustainability, Ihsan, Respect, Innovation, Prosperity, dan Trust, telah menjadi fondasi kuat bagi kinerja perekonomian Malaysia selama 24 tahun terakhir. Kerangka kerja ini, katanya, sangat selaras dengan Maqasid Syariah, yang berfokus pada pelayanan kepada masyarakat dan mengarahkan lanskap sosio-ekonomi Malaysia ke arah yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
Dalam perkembangan global, keuangan publik syariah telah melahirkan inovasi yang signifikan, salah satunya melalui sustainability linked-sukuk. Indonesia dan Malaysia merupakan pelopor dalam pengembangan instrumen keuangan syariah yang tidak hanya berfungsi sebagai sumber pendanaan negara, tetapi juga memberikan dampak sosial yang inklusif, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, serta mendukung keberlanjutan lingkungan. Inovasi ini mencakup Green Sukuk, Sustainability Malaysian Government Investment Issues (MGII), dan Cash Waqf Linked Sukuk (CWLS).
Beliau juga mengajak seluruh peserta konferensi untuk bersama-sama mengembangkan keuangan syariah sesuai dengan tuntutan zaman. Menurutnya, dengan mengadopsi nilai-nilai Islam yang menekankan keadilan, etika, dan inklusivitas, kita dapat menciptakan sistem ekonomi dan keuangan global yang lebih bermanfaat, bukan hanya untuk komunitas Muslim, tetapi juga untuk seluruh umat manusia.
Hari kedua konferensi dimulai dengan keynote speech dari Menteri Keuangan Indonesia Sri Mulyani Indrawati dan dilanjutkan oleh Mr. Amer Bukvic, selaku Direktur dan Perwakilan Residen Regional Hub of Indonesia Islamic Development Bank (IsDB) Group. Kemudian, diikuti sesi panel utama yang membahas Program Khadijah, sebuah program kolaborasi antara IsDB dan Pemerintah Indonesia yang bertujuan memberdayakan pengusaha perempuan melalui akses pembiayaan yang terintegrasi dalam ekosistem keuangan Islam.
Dalam pidatonya, Sri Mulyani menegaskan pentingnya nilai-nilai Islam diterapkan secara substansial dalam kebijakan keuangan publik.
"Islam adalah rahmatan lil alamin, artinya nilai-nilainya universal dan relevan bagi seluruh umat manusia. Kita harus memastikan prinsip-prinsip dasar Islam, seperti keadilan dan kesejahteraan sosial, tercermin dalam manajemen keuangan publik, terutama dalam fungsi alokasi, distribusi, dan stabilitas," kata Sri Mulyani.
Ia juga menekankan pentingnya distribusi kekayaan yang adil sebagai peran negara dalam memastikan kesejahteraan dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat, termasuk yang paling rentan. Kebijakan fiskal yang mendukung distribusi yang adil dirancang untuk membebankan kewajiban lebih kepada yang mampu dan memberikan bantuan kepada mereka yang membutuhkan.
Stabilitas ekonomi juga disoroti oleh Menkeu Sri Mulyani sebagai elemen penting dalam menjaga keberlanjutan perlindungan atas prinsip-prinsip Maqasid Syariah. Menurutnya, ekonomi yang tidak stabil dapat mengancam kehidupan, kekayaan, dan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi yang inklusif memerlukan efisiensi dalam alokasi sumber daya publik.
Selain itu, Sri Mulyani menggarisbawahi pentingnya penerapan karakter Nabi Muhammad SAW dalam manajemen keuangan publik, yakni shiddiq (jujur), amanah (terpercaya), fathanah (cerdas), dan tabligh (menyampaikan kebenaran). Menurutnya, karakter ini harus menjadi pedoman dalam pengelolaan keuangan negara yang bertujuan melindungi keluarga, meningkatkan kualitas sumber daya manusia, dan mempromosikan kesejahteraan masyarakat.
Amer Bukvic, dalam pidatonya, menyoroti peran penting instrumen keuangan syariah seperti sukuk dalam membangun infrastruktur. Instrumen ini juga mendukung model pembiayaan Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU), yang dinilai sangat penting dalam pembangunan ekonomi. Selain itu, beliau menilai bahwa inovasi dalam teknologi seperti fintech dan blockchain menjadi peluang besar untuk meningkatkan transparansi, efisiensi, dan skalabilitas dalam pengelolaan zakat dan wakaf.
Menurutnya, digitalisasi melalui platform inovatif dapat mengubah cara pengumpulan, pengelolaan, dan alokasi sumber daya publik, sehingga menghasilkan dampak yang lebih signifikan. "Dengan instrumen syariah seperti zakat, wakaf, dan sukuk, kita bisa menciptakan pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan," tambahnya.
AIFC ke-8 tahun ini didukung oleh berbagai pihak, termasuk Islamic Development Bank (IsDB), Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS), Universitas Indonesia (UI), serta Bank Syariah Indonesia (BSI). Melalui semangat nilai-nilai Islam yang universal, AIFC diharapkan menjadi platform penting bagi Indonesia untuk terus memimpin dalam keuangan syariah global, sejalan dengan prinsip rahmatan lil alamin.