Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) bersama dengan Bank Indonesia dan Dewan Pimpinan Wilayah IAEI DKI Jakarta menggelar Seminar Internasional dengan tema “Optimizing The Global Halal Industry Ecosystem Leveraging Research and Innovation for Resilient Economic Growth,” pada Kamis (31/10) di Ruang Merak, Jakarta Convention Center. Agenda seminar ini merupakan bagian dari rangkaian Indonesia Sharia Economic Festival (ISEF) Bank Indonesia.
Industri halal bukan hanya menjadi simbol identitas umat Muslim, tetapi juga menjadi salah satu motor penggerak pertumbuhan ekonomi global. Inovasi dan riset dapat mengoptimalkan potensi industri halal, yang tidak hanya memberikan dampak ekonomi, tetapi juga sosial yang berkelanjutan bagi masyarakat luas.
“Untuk memaksimalkan peluang ini, tantangan yang harus dihadapi meliputi optimalisasi ekosistem industri halal melalui kolaborasi multidisiplin, riset pasar yang lebih mendalam, serta inovasi yang berkelanjutan dan kompetitif,” ungkap Riyanto Sofyan, Ketua Bidang Pengembangan Industri Halal dan Ekonomi Kreatif IAEI.
Rifki Ismal, Direktur Departemen Ekonomi dan Keuangan Syariah Bank Indonesia, menerangkan pentingnya ekspor produk halal. Saat ini ekspor produk halal masih menyasar negara Timur Tengah atau OKI, dan perlu menyasar negara lain, seperti Somalia, Afrika. Digitalisasi adalah kunci dalam memasarkan produk halal. Digitalisasi yang dilakukan oleh BI dari sisi pembayaran, yaitu berupa kerja sama single currency.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum III IAEI, Susiwijono menyebutkan, sampai saat ini kata “potensi” masih dominan dan belum banyak pencapaian dalam praktik di industri halal. “Seperti peresmian Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Halal, baru satu kawasan yang akhirnya diresmikan karena memang masih sulit dalam mengembangkan KEK halal,” kata Susiwijono.
Prof. Irwandi Jaswir, Ketua DPW IAEI Malaysia, mengatakan Indonesia perlu fokus pada pengembangan riset bila ingin memajukan industri halal, terutama supply chain yang unggul di Indonesia. Riset yang dilakukan tidak boleh sembarang, harus mengedepankan solusi bagi permasalahan industri. Pemerintah, ahli, dan pelaku industri harus melihat industri halal sebagai peluang bisnis baru bila ingin memajukannya, yang berpotensi juga untuk peningkatan ekonomi nasional.
Sementara itu, M. Rizky Rizaldy, Ketua DPW IAEI United Kingdom, menekankan peran institusi dalam mengajarkan cara berpikir metodologis untuk menjawab permasalahan minimnya indeks literasi industri halal. Salah satunya caranya dengan mengubah hasil riset menjadi sebuah tulisan bergaya bahasa ringan sehingga mudah dibaca oleh masyarakat. Penggunaan AI ‘artificial intelligence’ juga sangat membantu kita dalam mengubah riset menjadi produk. Misalnya, membantu cari ide tulisan atau konten media sosial untuk menarik minat audiens agar melek literasi.
Mahardhika Berliandaldo, Deputi Kebijakan Strategis Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI, turut menyoroti peran media sosial dalam mengembangkan wisata halal Indonesia. Masyarakat perlu aktif dalam menyiarkan keindahan wisata dan kebudayaan lokal kepada khalayak luas, terutama wisatawan asing. Mengubah fokus pengembangan pariwisata dari arah kuantitas menjadi kualitas.
Peningkatan industri halal dapat tercapai bila pemerintah, ahli, pelaku industri, dan stakeholder saling bekerja sama dalam mengedepankan riset terkait jawaban atas permasalahan pelaku industri halal. Riset harus dituntut menjadi sebuah inovasi. Pelatihan intensif dan pemberian edukasi berkala kepada masyarakat sangat dibutuhkan untuk menyampaikan hasil riset. Bila usaha ini tercapai optimal, maka urgensi industri halal Indonesia teratasi. Ekonomi nasional akan seiring meningkat pesat.
Melalui forum ini, diharapkan terjalin sinergi antar pemangku kepentingan, baik pemerintah, akademisi, praktisi, hingga sektor swasta, untuk mewujudkan visinya sebagai pusat ekonomi dan keuangan syariah dunia, yang mampu memberikan dampak positif bagi kesejahteraan masyarakat, melalui pengembangan industri halal.