Tahun 2024 menjadi tahun terpanas dalam sejarah berdasarkan analisis Copernicus, the European Union's Climate Change Service. Suhu rata-rata global meningkat di atas 1,5°-1,55°C dari era pra-industri, melampaui ambang batas Perjanjian Paris. Di saat yang sama, Tiongkok mencatat penurunan emisi CO2 untuk pertama kalinya sejak pelonggaran pembatasan pandemi pada akhir 2022. Prestasi ini didorong oleh kapasitas energi rendah karbon yang meningkat, optimalisasi daya hidroelektrik, serta pengurangan emisi dari sektor industri dan pembangkit listrik.
Keberhasilan transisi energi Tiongkok tidak terjadi secara instan. Pada tahun 2000-an, negara ini menjadi penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia. Namun, pada 2015, Tiongkok mulai menyusun kebijakan hukum dan strategi industri hijau, termasuk memasukkan tujuan pembangunan berkelanjutan ke dalam rencana lima tahunan. Upaya ini mencakup pendirian lembaga keuangan hijau serta pengembangan infrastruktur hijau, regulasi dan insentif, produk keuangan hijau, kolaborasi sektor swasta, dan investasi dalam inovasi teknologi. Dengan langkah-langkah tersebut, Tiongkok berhasil mengalokasikan lebih dari $500 miliar untuk proyek pembangunan berkelanjutan.
Green financing atau pembiayaan hijau adalah investasi keuangan yang dialokasikan untuk proyek-proyek berkelanjutan yang berdampak positif bagi lingkungan. Konsep ini lahir dari meningkatnya ancaman pemanasan global akibat aktivitas manusia, seperti pembakaran bahan bakar fosil dan emisi gas rumah kaca. Melalui green financing, negara-negara dapat mengatasi masalah lingkungan sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
Keberhasilan Tiongkok dalam mendukung proyek hijau bergantung pada empat faktor utama. Pertama, adanya taksonomi yang jelas dalam mendefinisikan aktivitas hijau sehingga sektor keuangan dapat menyalurkan dana secara tepat. Kedua, berbagai instrumen pembiayaan hijau, mulai dari pinjaman hingga obligasi hijau. Ketiga, aturan transparansi dalam pengungkapan laporan manfaat lingkungan oleh regulator keuangan. Keempat, insentif keuangan yang menarik bagi sektor swasta untuk berinvestasi dalam proyek hijau.
Selain itu, Tiongkok mengembangkan zona percontohan keuangan hijau sejak akhir 2010-an. Zona ini bertujuan menguji berbagai pendekatan keuangan hijau yang disesuaikan dengan kondisi ekonomi setempat. Upaya ini mendukung pengembangan kendaraan listrik, energi terbarukan, serta pengurangan polusi di kota-kota besar seperti Beijing dalam satu dekade terakhir.
Tidak hanya Tiongkok, Indonesia juga sudah berkomitmen terhadap transisi energi berkelanjutan dengan menetapkan Nationally Determined Contributions (NDC) sejak 2016. Pada 2022, Indonesia meningkatkan target pengurangan emisi gas rumah kaca melalui Enhanced NDC (ENDC). Pemerintah juga meluncurkan Energy Transition Mechanism (ETM) untuk mempercepat transformasi sektor energi secara adil dan terjangkau. Namun, untuk mencapai target tersebut, diperlukan dana sekitar USD 148-263 miliar. Salah satu upaya pembiayaan berkelanjutan yang dilakukan adalah penerbitan Green Sukuk.
Indonesia merupakan pelopor utama Green Sukuk sejak 2018 dan menjadi penerbit terbesar secara global. Instrumen ini dirancang untuk membiayai proyek-proyek hijau dengan prinsip syariah, serta meningkatkan peran pasar keuangan syariah dalam mendukung proyek ramah lingkungan. Keberhasilan Green Sukuk tercermin dari pendanaan proyek energi terbarukan, efisiensi energi, konservasi sumber daya alam, serta pengembangan transportasi berkelanjutan. Instrumen ini menjadi bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2045 dalam mencapai visi Indonesia Emas 2045 yang maju, berkelanjutan, dan berkeadilan. Dengan belajar dari Tiongkok, Indonesia dapat memperkuat strategi Green Sukuk untuk mencapai target transisi energi nasional.