Ekonomi Islam telah mengalami perkembangan yang menarik selama empat puluh tahun di Indonesia. Perjalanan ini dimulai dari kajian mendalam oleh para ahli ekonomi yang berlandaskan ajaran Islam, kemudian berpuncak pada pembentukan Bank Muamalah Indonesia pada tahun 1991. Ini adalah hasil kolaborasi antara ICMI, MUI, Pemerintah Orde Baru, ulama, tokoh, dan umat Islam lainnya.
Perjuangan ini telah menghasilkan rumusan-rumusan yang berasal dari nash-nash syariah yang sebelumnya kurang mendapat perhatian dalam ilmu ekonomi Islam. Sebenarnya, khazanah ilmu muamalah/iqtishad telah diartikulasikan oleh para ulama dan cendekiawan Muslim, namun seringkali dianggap sebagai ajaran langit semata, padahal seharusnya diterapkan di dunia nyata.
Di sinilah peran para ahli ekonomi Islam menjadi penting. Mereka harus mampu menjabarkan nash-nash syariah (Al-Qur'an dan As-Sunnah) menjadi ilmu yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Sementara itu, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern terus berkembang pesat, didorong oleh paradigma rasionalitas yang terkadang mengabaikan wahyu. Materi iqtishad sebenarnya sudah cukup memadai sejak zaman Rasulullah dan para ulama, seperti yang tertuang dalam kitab-kitab fikih yang membahas pengelolaan aset, bisnis, kontrak bisnis, dan akad lainnya. Khazanah ilmu ini harus terus diaktualisasikan agar tetap relevan dengan perkembangan zaman.
Tantangan bagi para ahli ekonomi Islam saat ini adalah menampilkan profil ekonomi Islam secara utuh dan mandiri, baik dari segi epistemologis, ontologis, maupun aksiologis. Sistem Ekonomi Islam harus dapat berdiri sejajar dengan sistem ekonomi besar dunia lainnya, seperti kapitalisme, sosialisme, dan sistem campuran. Untuk mencapai tujuan ini, dibutuhkan ahli ekonomi Islam yang memiliki kapasitas keilmuan Islam dan fikih iqtishad, serta pemahaman yang kuat tentang ilmu ekonomi empiris. Saat ini, umat Islam memiliki banyak fuqoha (ahli hukum Islam), namun ahli ekonomi Muslim yang menguasai ekonomi empiris masih terbatas.
Pengembangan ekonomi Islam di Indonesia telah menunjukkan kemajuan yang luar biasa, ditandai dengan pendirian Bank Muamalah Indonesia (BMI) sebagai bank Islam pertama. Namun, pengembangan ini perlu didukung oleh keberadaan ahli ekonomi Islam yang mampu memberikan pandangan konseptual-teoretis yang komprehensif. Salah satu contoh urgensi peran ahli adalah dalam strategi proyeksi program. Jika pada saat pendirian BMI ada ahli iqtishad yang mumpuni, mungkin yang diperjuangkan terlebih dahulu adalah Undang-Undang Pokok Sistem Ekonomi Syariah, bukan hanya Undang-Undang Bank Syariah. Dengan adanya UU Pokok, semua kegiatan ekonomi berbasis Islam akan memiliki payung hukum yang kuat.
Ke depan, paradigma berpikir filsafati yang harus dibangun adalah paradigma qurani dan islami, bukan hanya filsafat sains yang memisahkan ilmu ekonomi dan ilmu hukum (Syariah) pada cabang yang berbeda. Secara ontologis, dalam paradigma keilmuan Islam, hukum/Syariah memiliki posisi yang lebih tinggi dari bidang ekonomi/bisnis. Pengembangan ekonomi Islam harus mengedepankan karakteristik spesifiknya. Pendekatan islamisasi ekonomi perlu diimbangi dengan pendekatan integratif syariah yang menampilkan ilmu iqtishad berasal dari wahyu Allah (Al-Qur'an dan As-Sunnah).
Dalam konteks Indonesia, pengembangan ekonomi Islam telah menunjukkan kemajuan yang signifikan, terutama dengan adanya Masterplan Ekonomi dan Keuangan Syariah (MEKSI) 2019-2024. IAEI (Ikatan Ahli Ekonomi Islam) memiliki peran penting dalam penguatan karakteristik ekonomi Islam yang dapat diterapkan pada semua bidang bisnis berbasis syariah. Dengan penguatan karakteristik ekonomi Islam dan peran aktif IAEI, diharapkan ekonomi Islam dapat menjadi tumpuan bagi masyarakat Indonesia dan dunia.