Kelahiran G20 pada 1999 dan up-grading G20 ke level summit (konferensi tingkat tinggi) pada 2008 dilatarbelakangi oleh respons global terhadap krisis keuangan. Peran G20 sering disebut sebagai crisis responder pada saat krisis dan steering committee bagi pemulihan dan reformasi pascakrisis.
Krisis keuangan global 2008 telah menyebabkan disrupsi luar biasa pada pasar keuangan, sistem keuangan, dan ekonomi. G20 bersama dengan Financial Stability Board (FSB) dan Standard Setting Boards (SSBs) melakukan reformasi kerangka pengaturan dan pengawasan sistem keuangan untuk mengatasi kerentanan dan kesenjangan pengaturan.
Sebagaimana dituangkan dalam The G-20 Toronto Summit Declaration (2010), terdapat lima prinsip utama dalam mengarahkan reformasi sistem keuangan global, yakni: memperkuat transparansi dan akuntabilitas, meningkatkan pengaturan yang tepat, mempromosikan integritas pasar keuangan, mendorong kerja sama internasional, dan memperbarui arsitektur keuangan.
Prioritas reformasi sektor keuangan pascakrisis keuangan global mencakup empat fokus area, yaitu: membangun daya tahan lembaga keuangan melalui penguatan prudential regulation standards, mitigasi masalah too big too fail, menangani risiko pasar derivatif over-the-counter (OTC), dan mengatasi shadow banking (isu non-bank financial intermediaries/NBFI). Selain itu, reformasi juga dilakukan untuk beberapa area penting lainnya, seperti kerangka dan perangkat makroprudensial, credit rating, dan standar akuntansi.
Elemen utama dari area membangun daya tahan lembaga keuangan adalah penguatan kualitas dan kuantitas permodalan serta bantalan likuiditas perbankan melalui reformasi Basel III. Di samping itu, dalam rangka memitigasi perilaku excessive risk-taking akibat praktik remunerasi dan kompensasi yang berlebihan, dilakukan reformasi standar kompensasi.
Reformasi terkait too big too fail ditujukan untuk mengefektifkan resolusi lembaga keuangan yang bersifat sistemik (systemically important financial institutions/SIFIs) dengan meminimalkan penggunaan dana publik serta potensi moral hazard. Reformasi mencakup standar total loss-absorbing capacity (TLAC) dari SIFIs, serta peningkatan efektivitas pengawasan terhadap SIFIs.
Guna mengatasi kompleksitas interkoneksi transaksi derivatif OTC yang menyulitkan pemantauan konsentrasi risiko dan meningkatkan efek penularan (contagion effect), reformasi mencakup perdagangan standardized OTC derivative yang didorong untuk dilakukan melalui bursa atau electronic trading platforms (ETP), penyelesaian transaksi melalui central counterparty (CCP), pelaporan kepada trade repositories, serta menaikkan persyaratan permodalan bagi non-centrally cleared derivatives.
Reformasi terkait shadow banking/NBFI ditujukan untuk mengatur aktivitas keuangan di luar sistem perbankan formal seperti money market funds (MMFs), securitization, securities financing transactions (SFTs) seperti repo dan securities lending, maupun asset management sector.
Pandemi Covid-19 merupakan ujian terbesar bagi stabilitas sistem keuangan pascakrisis keuangan global 2008. Secara umum, sistem keuangan memiliki daya tahan yang lebih kuat sebagai dampak dari reformasi. Perbankan memiliki permodalan dan bantalan likuiditas yang lebih besar serta leverage yang lebih kecil sehingga dapat menyerap shock makroekonomi. Infrastruktur pasar keuangan, khususnya CCP, juga berfungsi dengan baik.
Daya tahan sistem keuangan yang baik, dikombinasikan dengan respons kebijakan yang terorkestrasi di bidang fiskal, moneter, dan keuangan, telah membantu negara-negara dalam menghadapi krisis sebagai dampak dari pandemi Covid-19. Hal ini ditunjukkan dengan dapat diminimalkannya tekanan terhadap sektor keuangan, tetap berfungsinya intermediasi keuangan, dan terjaganya stabilitas sistem keuangan.
Sebagaimana dicatat oleh FSB dalam laporannya yang berjudul Lessons Learnt from the Covid-19 Pandemic from a Financial Stability Perspective, pandemi Covid-19 memberikan pelajaran tentang pentingnya melanjutkan agenda reformasi sistem keuangan. Pandemi Covid-19 membuktikan bahwa jurisdiksi dengan implementasi reformasi sistem keuangan yang lebih maju memiliki daya tahan sistem keuangan yang lebih baik.
Presidensi Indonesia
Presidensi G20 Indonesia tahun 2022 akan melanjutkan agenda reformasi sistem keuangan. Agenda ini sangat senapas dengan tema presidensi Indonesia Recover Together, Recover Stronger. Agenda reformasi sistem keuangan dibahas di beberapa working group/workstream pada Finance Track, terutama FSB dan IFA WG (International Financial Architecture Working Group).
Upaya pemulihan ekonomi global pascapandemi perlu didukung dengan lebih berfungsinya standar-standar keuangan internasional dan berkurangnya pro-cyclicality dari sistem keuangan guna mendorong intermediasi keuangan yang lebih seimbang dan kuat. Presidensi Indonesia akan menekankan pentingnya penguatan kebijakan yang efektif dalam mengatasi Covid-19 scarring effect di sektor keuangan, tidak hanya dalam konteks menjaga ketahanan intermediasi keuangan, tetapi juga untuk memastikan pemulihan kegiatan usaha agar dapat mendorong pertumbuhan ekonomi.
Presidensi Indonesia akan menekankan pentingnya penguatan kebijakan yang efektif dalam mengatasi Covid-19 scarring effect di sektor keuangan, tidak hanya dalam konteks menjaga ketahanan intermediasi keuangan, tetapi juga untuk memastikan pemulihan kegiatan usaha agar dapat mendorong pertumbuhan ekonomi.
Reformasi sistem keuangan akan berusaha menyeimbangkan manfaat inovasi digital dan penguatan mitigasi risikonya, dengan mengantisipasi risiko yang berasal dari inovasi aktivitas crypto-assets dan stablecoin, Decentralized Finance/DeFi, serta risiko siber dan ketahanan operasional. Central Bank Digital Currency (CBDC) juga akan dibahas, dengan harapan dapat dirumuskan prinsip-prinsip pengembangan CBDC.
Reformasi terkait ketahanan NBFI juga menjadi bahasan penting. Pada tahun 2019, sektor NBFI telah mencapai 49,5% dari sistem keuangan global. Gejolak yang terjadi di pasar global pada Maret 2020 menggarisbawahi pentingnya memperkuat ketahanan sektor ini, khususnya kerentanan struktural mismatch likuiditas di money market fund (MMFs) dan open-ended fund (OEFs) dalam memenuhi redemption di tengah tingginya ketidakpastian. Untuk itu, penguatan asesmen dan upaya mitigasi berbagai faktor yang berkontribusi terhadap amplikasi shock menjadi penting untuk didorong guna memahami potensi risiko sistemik NBFI dan memberi respons kebijakan yang efektif.
Terakhir, isu climate change pada sektor keuangan. Agenda reformasi keuangan akan melihat sisi risiko keuangan yang mungkin ditimbulkan akibat perubahan iklim. Di antaranya adalah dengan mengatasi data gaps, analisis skenario, dan identifikasi pendekatan regulasi dengan fokus makroprudensial dan memastikan konsistensi climate-related financial disclosures.
Disclimer:
- Sumber: INVESTOR DAILY (dimuat 3 Januari 2022, dengan judul ‘G20 dan Reformasi Sistem Keuangan’)
- Pandangan penulis tidak mewakili pandangan Institusi