• Tentang
  • Publikasi
  • Berita & Artikel
  • Program
  • Menjadi Member
  • id
    Loading...
    id
    Loading...
      Kembali ke daftar artikel

      Bagikan

      'Greenflation' Ancam Penanganan Perubahan Iklim?

      Greenflation menjadi paradoks besar di tengah usaha dunia membangun ekonomi yang lebih hijau

      Redaksi IAEI

      Ditulis oleh Redaksi IAEI

      3 Februari 2022
      20 Mnt Baca
      Umum

      Greenflation menjadi paradoks besar di tengah usaha dunia membangun ekonomi yang lebih hijau. Semakin cepat transisi menuju ekonomi hijau, semakin tinggi biaya yang dibutuhkan, dan semakin kecil peluang pencapaian target penanganan perubahan iklim.

      Percepatan transisi menuju emisi karbon rendah (net-zero emission) diperlukan untuk menjaga pemanasan global pada tingkat yang secara teoritis aman. Masih belum banyaknya pasokan alternatif hijau (logam, energi, dll) membuat harga transisi hijau menjadi jauh lebih mahal. Kebijakan pemerintah dan langkah bisnis yang ditujukan untuk dekarbonisasi juga meningkatkan biaya yang lebih tinggi untuk konsumen. Tentu kondisi ini tidak ideal di tengah usaha pemulihan ekonomi dan terhambatnya supply-chain akibat pandemi Covid-19.

      Faktor Terjadinya Greenflation 

      Transisi ke ekonomi bersih memerlukan investasi besar agar energi hijau dapat diterapkan secara masal. Untuk membangun teknologi pendukung energi terbarukan diperlukan konsumsi bahan bakar fosil yang besar di masa transisi. Namun produsen tidak merespon demand tersebut dikarenakan resistensi politik dan peraturan yang mengancam masa depan bahan bakar fosil. Walhasil, harga transisi meningkat tajam.

      Dua logam terpenting dalam instalasi tenaga listrik hijau adalah tembaga dan aluminium. Namun kegiatan tambangan dua logam ini juga menghadapi isu lingkungan, sosial, dan tata kelola. Hampir 40 persen pasokan tembaga berasal dari Chili dan Peru, di mana pertambangan mendapatkan penolakan dari masyarakat setempat karena isu perusakan lingkungan. Hampir 60 persen aluminium berasal dari China yang baru-baru ini menutup peleburan (smelting) baru karena jejak karbonnya yang besar.

      Instalasi teknologi terbarukan membutuhkan lebih banyak kabel daripada jenis bahan bakar fosil. Pembangkit listrik tenaga surya atau angin menggunakan tembaga enam kali lebih banyak daripada pembangkit listrik konvensional. Tembaga memang salah satu logam yang berkelanjutan karena dapat 100% di daur ulang. Namun kegiatan pertambangan tembaga saat ini cenderung tidak ramah lingkungan. Meningkatkan kualitas pertambangan tembaga juga menjadi pemicu greenflation.

      Selain tembaga, aluminium juga merupakan salah satu logam yang paling penting untuk proyek energi surya dan energi hijau lainnya, dan akan mengalami peningkatan permintaan yang sangat tajam dalam beberapa dekade mendatang. Dari aspek keberlanjutan, aluminium juga merupakan salah satu logam yang dapat didaur ulang 100%. Namun, saat ini aluminium menjadi salah satu logam yang paling kotor dalam proses produksinya. Meningkatkan kualitas pertambangan aluminium juga menjadi pemicu greenflation.

      Menyikapi Greenflation 

      Pada level tertentu peningkatan harga untuk kualitas pembangunan yang lebih baik adalah suatu hal yang wajar. Naiknya harga komoditas yang dibutuhkan untuk energi terbarukan akan meningkatkan biaya pendirian proyek pembangkit listrik ramah lingkungan. Tetapi ini akan diimbangi dengan akses dana yang lebih baik dan skala ekonomi. Jadi, kenaikan biaya dan masalah rantai pasokan proyek hijau diharapkan hanya merupakan isu temporer.

      Namun demikian seluruh pihak juga perlu memperhatikan aspek keseimbangan dalam transisi kepada energi hijau. Perlu disadari bahwa langkah penutupan ekonomi lama terlalu cepat dapat mendorong biaya pembangunan ekonomi hijau di luar jangkauan. Pada akhirnya, target-target transisi ekonomi hijau sulit tercapai dan negara-negara berkembang menjadi yang paling terbebani.

      “Harga logam yang tinggi, pajak karbon, dan percepatan keusangan modal pada investasi bahan bakar fosil adalah biaya yang harus dibayar di jalan menuju dekarbonisasi. Mengingat konsekuensi dari tidak melakukannya, biaya tersebut tidaklah seberapa. ‘Greenflation’ layak dibayarkan untuk dekarbonisasi.” Otaviano Canuto (Brookings Institution).

      Dapatkan Artikel Offline

      Artikel Lainnya

      Lihat Semua Artikel
      Umum
      Election Effect: Bagaimana Agenda Pemilu Berdampak Pada Ekonomi? 

      12 Februari 2024

      Umum
      Indonesia dalam World Happiness Report 2022

      24 Maret 2022

      Umum
      Indonesia Kembali Jadi Negara Paling Dermawan

      29 November 2023

      Umum
      Menjadi Konsumen Bijak dengan Ethical Consumption

      4 Januari 2024

      Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI)

      Gedung Dhanapala Lt. 2 Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Jl. Dr. Wahidin No. 1, Senen Raya, Jakarta Pusat 10710

      [email protected]
      (021) 384 0059 WA +62851 6324 0059

      Situs Terkait

      Loading...

        Copyright © 2025 DPP IAEI - Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia. All rights reserved.

        FAQ Kebijakan Privasi