Kelas sosial menengah di Indonesia terus menjadi perbincangan. Banyak ekonom dan analis sosial mengkhawatirkan kelas menengah akan turun kelas, di tengah berperan pentingnya dalam menunjang pertumbuhan ekonomi nasional. Mereka kerap diandalkan sebagai tulang punggung, penggerak, dan pendorong perekonomian nasional, konsumen utama yang mendorong permintaan domestik, investor kecil dan menengah, serta penggerak inovasi dan kewirausahaan. Kini nasib kelas menengah Indonesia diliputi keresahan yang mendalam akibat melonjaknya harga bahan pokok hingga ancaman PHK (pemutusan hubungan kerja). Dampaknya mengakibatkan daya beli lemah sehingga perekonomian negara terancam anjlok.
Menurut data Bank Dunia, kelas menengah dianggap memiliki pengeluaran antara Rp 1,2 juta hingga Rp 6 juta per orang per bulan. Kelas ini menempati posisi di antara golongan rentan miskin (pengeluaran di bawah 500 ribu rupiah per orang per bulan) dan kelas atas (pengeluaran di atas 6 juta rupiah per orang per bulan). Dominasi kelas ini diisi oleh penduduk usia produktif yang tinggal di perkotaan. Dalam laporannya, Bank Dunia menerangkan jumlah kelas menengah Indonesia tercatat 53,6 juta jiwa dan kelompok kelas menengah rentan miskin 114,7 juta jiwa atau 64,48 persen dari total penduduk Indonesia. Selain itu, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat 40 persen masyarakat kelas menengah pada Maret 2024 memiliki kontribusi sebesar 37 persen terhadap konsumsi nasional sehingga sepertiga ekonomi bangsa ini bergantung pada masyarakat kelas menengah.
Kendati jumlah kelas menengah di Indonesia terus meningkat dalam 20 tahun terakhir, di sisi lain penduduk mayoritas ini belum seluruhnya menikmati hak kebutuhan dasar pembangunan manusia. Mereka juga masih menghadapi kemungkinan untuk turun kelas. Meskipun terus bertambah dalam dua dekade terakhir, kelas menengah masih rentan terhadap berbagai guncangan ekonomi. Tantangan seperti kenaikan biaya hidup, ketidakstabilan pendapatan, dan risiko pemutusan hubungan kerja (PHK). Fenomena ini menimbulkan ketidakpastian yang besar bagi kelas menengah, terutama di kota-kota besar yang biaya hidupnya terus meroket.
Mereka berada di posisi yang serba sulit karena kurangnya akses jaminan sosial. Tidak cukup miskin untuk mendapat bantuan sosial, tetapi belum cukup kaya untuk merasa aman secara finansial. Mereka harus membayar iuran BPJS Kesehatan tanpa subsidi karena bukan bagian dari penerima bantuan. Juga, kebutuhan pokok kian naik sehingga beban hidup semakin berat. Fokus pemerintah biasanya terletak pada kelompok miskin sehingga kelas menengah terjebak di posisi "serba tanggung". Kebijakan yang berpihak pada masyarakat miskin sering kali tidak relevan bagi mereka, sementara kelas menengah tidak mendapat perhatian khusus.
Kebijakan yang berpihak kepada kelas menengah perlu dilaksanakan segera agar posisi mereka tidak rentan turun. Pertama, Pemerintah perlu memperluas akses mereka ke kredit dengan bunga rendah serta dukungan usaha lainnya seperti pelatihan dan pendampingan. Ini bisa membantu mereka untuk mengembangkan bisnis dan menjaga stabilitas keuangan. Kedua, peningkatan keterampilan melalui pendidikan dan pelatihan kerja menjadi solusi penting. Pendidikan yang berkualitas dan pelatihan berbasis teknologi dapat membantu kelas menengah bersaing di pasar kerja yang semakin kompetitif. Ketiga, Perlunya perluasan perlindungan sosial untuk kelas menengah yang bukan hanya soal dukungan keuangan, namun juga kualitas yang baik pada birokrasi, jasa publik, pendidikan dan pelayanan kesehatan, juga keadilan dan demokrasi yang punya dampak pada ekonomi dan politik. Tak hanya soal dukungan keuangan, perlu perbaikan pada birokrasi, jasa publik, pendidikan dan pelayanan kesehatan, serta keadilan dan demokrasi yang punya dampak pada ekonomi dan politik. Ini akan mengurangi risiko "turun kelas" akibat kehilangan pekerjaan atau penghasilan.
Keempat, pemerintah harus mengeluarkan kebijakan yang mendukung sektor-sektor padat karya yang menciptakan lapangan kerja berkualitas bagi kelas menengah. Kebijakan memberikan insentif kepada perusahaan sektor padat karya agar tidak melakukan PHK dan mampu merekrut karyawan baru. Kelima, untuk memperkuat daya beli kelas menengah, Indonesia harus menjadi basis produksi yang kompetitif di pasar global, dengan mendorong PMA untuk masuk sektor ekspor. UMKM juga harus dibantu untuk terlibat dalam rantai nilai global melalui dukungan teknologi, pelatihan, dan akses pasar yang lebih luas, dan dukungan lainnya, bukan hanya sekadar soal kredit. Jadi, UMKM mampu menciptakan middle class job.
Nasib kelas menengah di Indonesia sangat penting untuk masa depan ekonomi nasional. Jika kelas ini semakin tertekan dan jumlahnya menurun, dampaknya bisa terasa langsung pada pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, pemerintah perlu memberikan perhatian lebih kepada kelas menengah dengan kebijakan yang tepat sasaran. Penetapan kebijakan yang mendukung keberlanjutan kelas menengah, seperti perlindungan sosial, akses terhadap kredit, dan pendidikan yang berkualitas, kelas menengah Indonesia bisa terus berperan sebagai motor penggerak ekonomi. Seiring pertumbuhan mereka, ekonomi nasional juga akan semakin kuat dan stabil. Alhasil risiko ketimpangan sosial akan semakin berkurang di masa depan.