Saat ini, negara di belahan dunia dihadapkan dengan kondisi trade-off yang dilematis: apakah harus terus mementingkan pertumbuhan ekonomi dengan mengorbankan aspek lingkungan, kebutuhan dasar manusia, ketimpangan, serta aspek penting lainnya? Dari dulu hingga saat ini banyak yang mengira bahwa pertumbuhan ekonomi tanpa batas menjadi salah satu ukuran kesuksesan sebuah negara. Namun, kehidupan yang kian dinamis dan kompleks mengantarkan ke sebuah pencarian standar terbaru karena nyatanya isu lingkungan dan sosial masih merajalela di kala statistik ekonomi menyatakan sedang mengalami pertumbuhan. Pada dasarnya, paradigma ekonomi saat ini masih terlalu memperhatikan aspek kemanusiaan belaka sebagai sumber kehidupan alih-alih lingkungan dan makhluk hidup lainnya yang juga memiliki manfaat timbal balik untuk manusia itu sendiri.
Hingga pada tahun 2012, sebuah paper berjudul A Safe and Just Space for Humanity: Can We Live Within the Doughnut? terbit di Oxfam Report pada tahun 2012 oleh Kate Raworth yang merupakan seorang ekonom dari Oxford University, mengajukan sebuah model ekonomi radikal yang menarik perhatian PBB dan kancah global bahwa setiap negara harus skeptis terhadap pertumbuhan ekonomi di abad ke-21. Model itulah yang kemudian dikenal sebagai Doughnut Economics atau Ekonomi ‘Donat’. Adapun makna ‘Donat’ di sini ialah bahwa Kate Raworth berpandangan gambaran ekonomi yang sehat dan ideal adalah pemenuhan kebutuhan manusia harus berada di dalam lingkaran donat yang dibatasi oleh dua batas cincin: fondasi sosial & atap ekologi (lingkungan). Dari model ‘donat’ ini juga dapat dilihat bahwa tujuan ekonomi seharusnya adalah pemanfaatan sumber daya sehingga semua orang (tanpa terkecuali) memiliki akses terhadap kebutuhan dasar, seperti air, makanan, pendapatan, pendidikan, dan kesehatan.
Di sisi lain, ekonomi hanya boleh tumbuh tidak melebihi atap lingkungan hidup: kondisi udara, air bersih, lahan, keanekaragaman hayati, ozon, dan sebagainya. Sebagai contoh, perubahan iklim dapat menurunkan PDB ekonomi dunia sebesar 11-18% jika temperatur global meningkat 3,2 derajat C di tahun 2050 berdasarkan prediksi Swiss Re Institute. Apabila pertumbuhan ekonomi melampaui batas atap lingkungan, kondisi masyarakat global justru tidak akan mampu memenuhi kebutuhan dasarnya. Ditambah lagi, masyarakat yang hidup di bawah cincin fondasi sosial akan terpaksa menggunakan sumber daya dengan cara yang tidak sehat dan tidak berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Model ini juga ini telah tercermin oleh data yang dirilis oleh WHO bahwa nyatanya 2,7 miliar orang masih bergantung pada akses tradisional untuk memasak, seperti biomass (kayu, kotoran hewan, arang, dan sisa tanaman) dan batu bara. Hasil dari pembakaran biomass dan batu bara serta aktivitas deforestasi lokal justru hanya akan berdampak pada stabilitas lingkungan dan malah memperparah kemiskinan itu sendiri.
Filosofi ekonomi yang selama ini dipahami oleh khalayak umum mengenai ilmu ekonomi adalah sebuah disiplin ilmu yang mempelajari bagaimana mengalokasikan sumber daya terbatas karena manusia memiliki keinginan yang tak terbatas. Kelangkaan dan kompetisi adalah hasil manifestasi dari ide ekonomi konvensional yang memandang bahwa manusia memiliki keinginan tak terbatas terhadap sumber daya yang terbatas. Hasilnya malah justru memunculkan isu-isu baru, seperti isu kemanusiaan dan lingkungan. Di sisi lain, penelitian yang dilakukan oleh Prof. Hafas Furqani, Akademisi Fakultas dan Bisnis Islam Universitas Islam Negeri Ar-Raniry sekaligus Koordinator Indonesia Barat DPP IAEI, melakukan penyelidikan terhadap pokok bahasan ekonomi Islam sebagai disiplin ilmu dan menemukan bahwa ekonomi Islam memandang “kecukupan (sufficiency)” sumber daya dibandingkan “kelangkaan (scarcity)”. Perspektif “kecukupan (sufficiency)” akan mengantarkan konsep kerja sama dalam berbagi sumber daya. Perspektif ini bisa menjadi bukti bahwa ekonomi yang mengadopsi nilai-nilai Islam selaras dengan model ekonomi ‘donat’ yang menjunjung keseimbangan, alih-alih mengedepankan pertumbuhan tanpa batas.