Konsumsi masyarakat meningkat sebagai akibat dari aktivitas perpolitikan, mulai dari persiapan hingga pelaksanaan pemilu, termasuk belanja pemerintah untuk penyelenggaraan pemilu dan belanja kampanye. Ini dapat dilihat dari pemilu-pemilu periode sebelumnya. Anggaran yang besar untuk pemilu dialokasikan untuk pengadaan logistik, barang, dan jasa. Belanja dan konsumsi dari tingkat pusat hingga badan ad hoc akan meningkatkan daya beli masyarakat.
Sektor makanan-minuman, tekstil dan produk tekstil (TPT), akomodasi, dan transportasi akan mengalami peningkatan permintaan sebagai akibat dari pemilu. Selain itu, pemilu meningkatkan usaha padat karya masyarakat kecil dan menengah. Misalnya, melalui upaya yang dilakukan dalam bidang percetakan, konfeksi, komunikasi dan periklanan, serta bidang lain yang berkontribusi pada pengembangan dan penyebaran informasi tentang proses pemilu. Adapun, alokasi anggaran penyelenggaraan Pemilu 2024 meningkat 57,3% dibandingkan tahun sebelumnya, sekitar 25,59 triliun. Bertambahnya jumlah partai politik dan pemilih juga menyebabkan peningkatan anggaran ini. Anggaran pemilu Indonesia menggelembung karena perubahan regulasi dan pemekaran daerah.
Efek PDB dan Konsumsi Rumah Tangga
Secara tidak langsung, pemilu menstimulasi peningkatan pendapatan masyarakat karena turut menyumbang pertumbuhan produk domestik bruto (PDB). Pemilu mempengaruhi peningkatan konsumsi pada periode kuartal berjalan, namun cenderung turun sebelum dan pasca pemilu.
Dilihat dari kecenderungan PDB riil pada pemilu periode sebelumnya, pertumbuhan ekonomi cenderung melambat hingga dua triwulan sebelum pemilu, kemudian stabil hingga akhirnya menguat. Sikap kehati-hatian pelaku ekonomi menjelang siklus pemilu karena kemungkinan perubahan peraturan dan agenda ekonomi menjadi faktor pendorong terjadinya fenomena ini.
Efek Terhadap Inflasi dan Belanja Pemerintah
Pada kuartal sebelum pemilu, belanja pemerintah cenderung melambat hingga akhirnya meningkat. Ini berlaku untuk belanja fiskal nominal dan riil. Sementara itu, tren inflasi ketika pemilu juga dipengaruhi oleh kenaikan harga komoditas global dan harga bahan bakar pada tahun tersebut. Respons kebijakan moneter pada periode-periode ini didorong oleh kombinasi pengelolaan inflasi, pergerakan mata uang, dan lintasan pertumbuhan yang terus berubah.
Efek Terhadap Nilai Tukar dan Peredaran Uang
Dalam hal mata uang, nilai tukar dolar AS terhadap rupiah cenderung melemah menjelang pemilu, kemudian bertahan, dan kemudian kembali menguat setelah pemilu. Selain itu, partisipasi dalam pemilu meningkatkan uang beredar selama kuartal menjelang dan saat pemilu, tetapi pada periode pasca pemilu bersifat negatif. Menurut BI, jumlah uang yang beredar di masyarakat selama Pemilu 2014 dan 2019 meningkat dari Rp23 triliun hingga Rp52 triliun. Uang yang dimaksud adalah uang tunai yang dimiliki masyarakat, uang elektronik, dan tabungan yang dapat ditarik (M1). Sementara itu, uang kuasi (tabungan, deposito berjangka, giro, dll) adalah salah satu komponen yang mengalami penurunan.
Efek Terhadap Arus Investasi dan FDI
Investasi cenderung menurun saat pemilu yang mana dapat menyebabkan perlambatan ekonomi. Semakin tinggi ketidakpastian (politik), semakin besar koreksi investasi. Arus investasi langsung asing (FDI) cenderung menurun dan menjadi netral hingga satu triwulan setelah pemilu. Hal ini menunjukkan kehati-hatian terhadap hasil pemilu dan dampaknya pada peraturan, reformasi, dan iklim bisnis yang terbuka. Dalam hal IHSG, pemilu biasanya berdampak negatif pada bulan sebelum dan saat pemilu, tetapi indeks kemudian meningkat satu bulan setelah pemilu.
Trend Bearish
Dampak terhadap pasar saham akibat pemilu tersebut menyebabkan adanya trend Bearish. Bearish adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kondisi pasar ketika terjadi banyak aksi jual dan pasar menurun atau melemah. Trend Bearish yang terjadi menjelang pemilu tersebut dapat disebabkan oleh kebutuhan dana besar terkait sosialisasi pemilu atau kampanye. Meskipun demikian, terdapat 2 pola kebijakan yang umumnya diambil perusahaan dalam menyikapi pemilu, yaitu:
Pola pertama: karena ketidakpastian dan risiko diskontinuitas kebijakan, perusahaan cenderung meningkatkan likuiditas dan menunda keputusan investasi untuk menjaga fleksibilitas keuangannya pada satu tahun sebelum penyelenggaraan pemilu. Perusahaan cenderung enggan untuk mengajukan permintaan kredit kepada perbankan karena mereka cenderung wait and see untuk melakukan investasi atau ekspansi.Dampaknya, penggunaan plafon kredit menjadi tidak dimaksimalkan oleh pengusaha sehingga bank memiliki cukup uang yang disimpan.
Pola kedua: pada tahun pemilihan, perusahaan akan mengurangi likuiditas dan meningkatkan investasi dengan mengubah aset likuid menjadi aset tidak likuid, seperti peralatan, pabrik, dan properti. Hal ini dilakukan untuk memitigasi risiko pemanfaatan aset-aset likuid tersebut oleh para politisi untuk dijadikan sumber pendanaan kampanye.