Syed Nawab Haider Naqvi, seorang pemikir ekonomi Islam terpandang era kontemporer, lahir pada 11 Juli 1935 di India dan tumbuh dalam lingkungan yang sangat menghargai pendidikan dan pemikiran intelektual. Setelah pembagian India, keluarganya bermigrasi ke Pakistan, sebuah negara baru yang terbentuk berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Sejak muda, Naqvi menunjukkan minat mendalam terhadap ilmu pengetahuan, terutama pada bidang sosial dan ekonomi. Pengalaman hidup di dua negara dengan latar belakang sejarah yang kuat memengaruhinya dalam melihat ilmu ekonomi sebagai sebuah proses yang melibatkan perilaku manusia dan aktivitas ekonominya.
Minat besar Naqvi mengantarkannya untuk mengejar pendidikan tinggi di bidang ekonomi di Universitas Yale, Universitas Princeton, dan Universitas Harvard, Amerika Serikat. Pengalaman belajar di Amerika memberinya wawasan mendalam tentang teori ekonomi modern. Namun, ia tetap menjaga pandangan bahwa moralitas dan nilai-nilai Islam harus menjadi bagian tak terpisahkan dari ekonomi. Sekembalinya ke Pakistan, Naqvi mulai mengajar di beberapa universitas terkemuka dan turut aktif dalam membangun kebijakan, melalui posisinya sebagai Direktur Pakistan Institute of Development Economics (PIDE).
Naqvi berperan besar dalam merumuskan kebijakan ekonomi yang berpihak pada masyarakat miskin dan kelompok yang rentan. Menurutnya Ilmu ekonomi adalah alat untuk mewujudkan keadilan “adl wa al-ihsan”, dan sering mengkritik sistem ekonomi yang hanya berfokus pada pertumbuhan, tetapi mengabaikan kesejahteraan sosial. Baginya, pertumbuhan ekonomi harus sejalan dengan prinsip keadilan bagi masyarakat. Menurut Naqvi, negara memiliki fungsi esensial untuk memastikan keadilan ini terwujud. Negara harus terlibat secara aktif dalam ekonomi, tidak hanya sebagai pengatur, tetapi juga sebagai pelaku.
Naqvi mengemukakan tiga pemikiran, Pertama, nasionalisasi sektor perbankan dengan menyelaraskan keuangan berprinsip Islam, seperti larangan riba. Kedua, program pekerjaan umum untuk menciptakan lapangan kerja dan memastikan distribusi sumber daya yang adil. Ketiga, ia menekankan keadilan sosial bagi masyarakat di hadapan hukum karena Islam memandang semua orang sama di hadapan Tuhan.
Selain itu, kinerja ekonomi suatu masyarakat dianggap tidak dapat dipisahkan dari filosofi moralnya. Naqvi menegaskan tidak ada kekosongan moral dalam bidang sosial dan ekonomi, yang kemudian merumuskan prinsip-prinsip etika Islam yang menjadi landasan bagi ekonomi yang adil dan manusiawi ke dalam empat aksioma utama.
Pertama, persatuan (Tauhid), dimana segala sesuatu berasal dari satu sumber penciptaan, yaitu Allah SWT. Dalam ekonomi, ini berarti bahwa semua orang harus diperlakukan sama dan adil. Kedua, kebebasan yang diberikan kepada manusia untuk bertindak sesuai kehendaknya, tetapi kebebasan ini harus dipandu oleh etika, agar tidak merusak keseimbangan sosial dan ekonomi. Ketiga, tanggung jawab atas setiap tindakan dan pilihannya, yang berarti setiap individu harus memastikan bahwa tindakannya tidak merugikan orang lain atau masyarakat secara umum dalam konteks ekonomi. Keempat, keseimbangan dalam kehidupan ekonomi, keseimbangan yang ada di alam semesta harus tercermin dalam perilaku manusia, baik dalam konteks individu maupun kolektif.
Pemikirannya dalam mengintegrasikan nilai-nilai etika Islam ke dalam teori ekonomi kontemporer, termuat dalam karya “Ethics and Economics: An Islamic Synthesis” (1981). Selain itu, Naqvi menulis banyak buku dan artikel tentang reformasi ekonomi, kebijakan pembangunan, dan peran negara dalam menciptakan keadilan sosial. Lewat karya-karyanya, Naqvi berhasil mengintegrasikan ajaran Islam ke dalam teori ekonomi modern. Pemikirannya tentang keadilan sosial, peran negara, dan tanggung jawab individu dalam ekonomi tetap relevan hingga saat ini. Tidak hanya relevan bagi umat Muslim, tetapi juga bagi masyarakat global.