Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) berkolaborasi dengan PT Pegadaian dan Faultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Andalas sukses menggelar Roadshow The Gade Sociopreneurship Goes To Campus (TGSC) dengan tema “Young Generation Innovations Towards a Sustainable Future”, pada Kamis (3/10) di Universitas Andalas, Padang.
Prof. Dr. Syukri Arief, M.Eng, Wakil Rektor I Universitas Andalas, mengawali acara dengan sambutannya. Menurutnya, kegiatan ini diharapkan dapat mendorong mahasiswa untuk turut serta menjadi pelaku UMKM sebagai sociopreneur. TGSC memberikan kesempatan dan peluang bagi mahasiswa Universitas Andalas untuk bersaing dalam kompetisi ini dalam menjawab tantangan dan permasalahan yang ada.
“Biasanya ide mahasiswa ini lebih ‘nakal’ dan kreatif dibandingkan para dosen dalam berkarya. Semoga kompetisi ini mendorong mahasiswa untuk menjadi sociopreneur yang inovatif dan mampu memberikan dampak baik bagi lingkungan,” ujarnya.
Dede Kurniawan, Pemimpin Kantor Wilayah II Pekanbaru PT Pegadaian, mengatakan kegiatan ini juga bertujuan untuk memberikan literasi ekonomi dan keuangan kepada mahasiswa. Tak jarang mahasiswa mengalami kesulitan perihal keuangan. Pegadaian hadir ditengah-tengah masyarakat, terutama mahasiswa, dalam mengatasi masalah tanpa masalah, berupa produk Tabungan Emas.
“Pegadaian memiliki tujuan meng-emas-kan Indonesia untuk Indonesia Emas 2045. Saya menyarankan mahasiswa untuk membuka Tabungan Emas digital di Pegadaian. Tamat kuliah diharapkan telah memiliki satu gram emas, yang bisa dijadikan modal usaha atau lainnya,” kata Dede Kurniawan.
Edo Pratama, Pemimpin Cabang Pegadaian Syariah Ujung Gurun, mengingatkan mahasiswa untuk menghindari jebakan finansial, berupa FOMO yang menyebabkan boros sehingga terjebak pinjaman online (pinjol) atau paylater. Menurutnya, masa kuliah jadikanlah sebagai momen pengembangan diri untuk menyiapkan masa depan. Bisa mulai dengan menabung. Pegadaian bisa menjadi pilihan menabung dengan berbagai produk, yaitu Tabungan emas, cicilan emas, sampah ditukar emas.
“Mahasiswa juga bisa ikut TGSC ini untuk mulai berbisnis, menjadi sociopreneur yang memberikan dampak yang baik kepada manusia dan alam,” ujarnya.
Tatiek Kancaniati, Anggota Bidang Pengembangan Kewirausahaan Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat DPP IAEI, mengatakan modal sangat dibutuhkan untuk mengawali bisnis. Menurutnya, perihal modal tidak melulu soal uang, rasa empati dan ingin membuat solusi bagi permasalahan yang ada di lingkungan sekitar juga penting.
“Jika seseorang diberikan modal dan menggunakannya untuk kepentingan pribadi dan usahanya, maka disebut entrepreneur. Namun, bila seseorang menggunakan modal untuk kepentingan umum, maka ia adalah sociopreneur. Orang inilah yang dibutuhkan masyarakat,” ujarnya.
Lebih lanjut, pembeda antara sociopreneur dan entrepreneur, yaitu permasalahan dan rasa empati. Seseorang memahami permasalahan di lingkungannya, lalu membangun bisnis untuk mengatasi permasalahan tersebut, termasuk melibatkan masyarakat. Masyarakat akan dilibatkan dan diberdayakan dengan cara Participatory Model, Capacity Building Model, dan Economic Empowerment.
“Mahasiswa bisa menjadi sociopreneur, dengan punya modal social mission/impact, empowerment, dan sustainability,” kata Tatiek.
Suhatril, S.T., M.T., Pemilik Usaha KejuLasi, merupakan salah satu contoh sociopreneur di Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Suhatril membangun usaha tersebut berdasarkan dua aspek, yaitu potensi yang ada di Nagari tersebut dan pendekatan kearifan lokal yang ada. Ia melihat sektor pertanian bisa menjadi potensi bisnis di Sumatera Barat.
“Potensi Sumbar adalah sektor pertanian, meskipun banyak terhambat karena sengketa tanah dan adat. Namun, saya tanpa ragu membangun usaha di sektor pertanian,” ujarnya.
Lebih lanjut, potensi bisnis di sektor pertanian lebih besar, tetapi tidak terkelola dengan baik, banyak petani yang tidak sejahtera dan fasilitas tidak memadai. Idealnya kita harus budidaya pertanian, pengolahan hasil, dan pemasaran hasil pertanian untuk meningkatkan rasio kewirausahaan di Indonesia.
“Rasio kewirausahaan di Indonesia masih di level 3,47%, sedangkan Malaysia sudah mencapai >4,7%, Thailand >4,2%, Singapore pada level 8,9%. Bila Indonesia ingin menjadi negara maju, maka harus memiliki rasio kewirausahaan/ UMKM pada level 8 - 10%,” kata Suhatril.
Dengan menjadi sociopreneur dapat meningkatkan rasio tersebut. Sociopreneur itu bisa dicapai, jika kita melihat potensi yang ada dan mengembangkannya dengan baik. The Gade Sociopreneurship Challenge (TGSC) 2024 merupakan wadah yang cocok bagi sociopreneur pemula, khususnya mahasiswa, sebuah kompetisi ide-ide kreatif dan inkubasi kewirausahaan sosial.